forum diskusi ang deden

LESEHAN Ang Deden

matan al-jurumiyah...menginat di intiqol cianjur

Matan kitab “Al-ajjurumiyyah” ; merupakan kitab dasar dalam fan ilmu nahwu, karangan Abu Abdulloh Muhammad bin Muhammad bin Dawud Ash-Shonhajie Rohimahulloh (Imam Shonhaji).

Kitab ini salah satu matan yang biasa dipakai oleh kalangan pesantren untuk pembelajaran dasar-dasar ilmu nahwu bagi pemula, dalam mengawali pembelajaran fan ilmu alat lebih lanjut.

Dalam setiap sorogan, santri dituntut paham dan mampu menghapal tiap kaidah-kaidahnya, agar memudahkan pemahaman materi selanjutnya.

Al-kisah diceritakan, Syeikh Imam Al-Sonhaji pengarang kitab ini ; tatkala telah rampung menulis kaidah-kaidah ilmu nahwu dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyai azam untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. Dengan segala sifat kewara’annya dan ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam dirinya : “Ya Allah jika saja karyaku ini akan bermanfaat, maka jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak luntur di dalam air”. Ajaib, ternyata tinta yang tertulis pada lembaran kertas tersebut tidak luntur.

Dalam riwayat lain disebutkan, ketika beliau merampungkan karya tulisnya tersebut, beliau berazam akan menenggelamkan tulisannya tersebut dalam air mengalir, dan jika kitab itu terbawa arus air berarti karya itu kurang bermanfaat. Namun bila ia tahan terhadap arus air, maka berarti ia akan tetap bertahan dikaji orang dan bermanfaat. Sambil meletakkan kitab itu pada air mengalir, beliau berkata : “Juruu Miyaah, juruu miyaah” (mengalirlah wahai air ! ). Anehnya, setelah kitab itu diletakkan pada air mengalir, kitab yang baru ditulis itu tetap pada tempatnya.

Itulah kitab matan “Al-Ajjurumiyah” yang masih dipelajari hingga kini. Sebuah kitab kecil dan ringkas namun padat yang berisi kaidah-kaidah ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan para pemula dalam mendalami ilmu nahwu di berbagai dunia. Selain ringkas, kitab mungil ini juga mudah dihafal. (Wallohu ‘Alam)

filsafat ilmu nahwu

Dalam kitab “Al Kawakib Al Durriyah” diceritakan, Syeikh Imam Al-Sonhaji, pengarang sebuah kitab nahwu, tatkala telah rampung menulis sebuah buku tentang kaidah nahwu yang ditulisnya dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyai azam untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. Dengan segala sifat kewara’annya dan ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam dirinya : “Ya Allah jika saja karyaku ini akan bermanfaat, maka jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak luntur di dalam air”. Ajaib, ternyata tinta yang tertulis pada lembaran kertas tersebut tidak luntur. Dalam riwayat lain disebutkan, ketika beliau merampungkan karya tulisnya tersebut, beliau berazam akan menenggelamkan tulisannya tersebut dalam air mengalir, dan jika kitab itu terbawa arus air berarti karya itu kurang bermanfaat. Namun bila ia tahan terhadap arus air, maka berarti ia akan tetap bertahan dikaji orang dan bermanfaat. Sambil meletakkan kitab itu pada air mengalir, beliau berkata : “Juruu Miyaah, juruu miyaah” (mengalirlah wahai air!). Anehnya, setelah kitab itu diletakkan pada air mengalir, kitab yang baru ditulis itu tetap pada tempatnya.
Itulah kitab matan “Al-Jurumiyah” karya Imam Al Sonhaji yang masih dipelajari hingga kini. Sebuah kitab kecil dan ringkas namun padat yang berisi kaidah-kaidah ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan para pelajar pemula dalam mendalami ilmu nahwu (kaidah bahasa Arab) di berbagai dunia. Selain ringkas, kitab mungil ini juga mudah dihafal oleh para pelajar.
Di sini penulis tidak hendak mengemukakan kaidah ilmu nahwu dengan segala pembagiannya. Yang akan penulis kemukakan adalah, bahwa di dalam kitab yang melulu membahas tata bahasa Arab, ternyata kalau dikaji lebih dalam lagi, ia memiliki filsafat-filsafat hidup dan nasehat yang sangat berharga bagi setiap generasi terutama bagi kita sebagai ummat Islam. Filsafat hidup yang termaktub dalam kitab itu sendiri merupakan “hukum” atas suatu kalam atau kalimat dalam ilmu nahwu. Berikut ini adalah contohnya:
Bersatu Kita Terhormat
Dalam ilmu nahwu, “dhommah” adalah salah satu tanda dari tanda-tanda “rofa’”. Secara lafdziah kata dhommah berarti bersatu. Sedang kata rofa’ berarti tinggi. Maksudnya, bila kita dapat bersatu dengan sesama, dapat menjaga kesatuan dan persatuan, dapat mempererat tali ukhuwah, bukan tidak mungkin kita akan menjadi umat yang terhormat dan tinggi (rofa’) di antara bangsa dan umat lain.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :”Bersatulah kalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian berpecah belah” (Ali Imran: 103). Sementara untuk mendapatkan derajat tinggi harus memenuhi syarat, di antaranya adalah iman. Firman Allah SWT: “Janganlah kalian merasa hina dan sedih, padahal kamu tinggi jika kamu beriman (Ali Imran: 139).
Ada beberapa keriteria sehingga orang bisa mendapatkan derajat rofa’ (tinggi). Sebagaimana dijelaskan dalam Al Jurumiyah, bahwa di antara kedudukan kalimat yang mendapat hukum rofa’ atau marfu’ (yang diberi penghargaan tinggi) adalah: fa’il, naib fa’il, mubtada’, khobar dan tawabi’ marfu’(sesuatu yang mengikuti segala kalimat marfu’) seperti sifat (na’t), badal, taukid dan ‘atof. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fa’il (aktivis). Bila kita ingin menjadi orang yang dihargai, tinggi dan tidak terhina, maka hendaklah kita berbuat, bekerja dan berusaha, tidak berpangku tangan atau hanya mengharap belas kasih orang lain. Hanya orang yang aktif dan pro aktiflah (fa’il) yang membuahkan karya-karya dan amal dan menjadi terhormat di lingkungannya. Firman Allah SWT: “Dan katakanlah (hai Muhammad) : Bekerjalah kalian! sesungguhnya pekerjaan kalian akan dilihat oleh Allah, RasulNya dan kaum mu’minin” (At Taubah : 105). Sabda Nabi Muhammad SAW: “ tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di bawah(peminta)”.
2. Naib fa’il (mewakili tugas-tugas aktivis) adalah tipe kedua orang yang mendapat derajat tinggi. Meskipun ia berkedudukan sebagai wakil, tapi ia menjalankan pekerjaan yang dilakukan fa’il walau harus menjadi penderita dalam kedudukannya sebagai kalimat. Sebagai contoh dalam hal ini adalah sahabat Ali ra. Beliau pernah menggantikan Rasulullah di tempat tidurnya dengan resiko yang tinggi berupa pembunuhan yang akan dilakukan para pemuda musyrikin Makkah saat Rasulullah berencana melaksanakan hijrah ke Madinah. Contoh lain adalah para huffadz yang diutus Rasulullah untuk mengajarkan agama atas permintaan salah satu suku di jazirah Arab, namun nasib mereka naas dikhianati dan dibunuh para pengundang. Mendengar hal itu, Rasulullah pun membacakan do’a qunut nazilah sebagi rasa ta’ziyah. Dengan do’a dari Rasul tersebut, tentu saja mereka yang wafat mendapat kedudukan mulia di sisi Allah, juga oleh sejarah.
3. Mubtada (pioneer), orang yang pertama melahirkan ide-ide positif kemudian diaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat sehingga berguna bagi kehidupan manusia adalah orang yang pantas mendapat derajat rofa’ (tinggi). Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa memulai sunnah hasanah (ide positif dan konstruktif) maka baginya pahala dan pahala orang yang melakukan ide (sunnah) tersebut”. Ada pepatah Arab mengatakan demikian:
الفضل للمبتدئ وان أحسن المقتدى
“Perhargaan itu hanyalah milik orang pertama memulai, walaupun orang yang datang kemudian dapat melakukannya lebih baik”
4. Khobar (informasi). Mereka yang memiliki khobar (informasi) itulah orang yang menguasai. Demikian salah satu ungkapan dalam ilmu komunikasi. Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang yang lebih banyak ilmunya dari seorang lain. Yang ada adalah karena orang itu lebih banyak mendapatkan dan menyerap informasi dari lainnya. Membaca buku, apapun buku itu, sebenarnya kita sedang menyerap sebuah informasi. Dan sebanyak itu informasi yang kita dapatkan sebesar itu pula kadar maqam kita. Informasi dapat kita peroleh melalui berbagai cara, termasuk di dalamnya pengalaman.
5, Tawabi’ Marfu’ (Mereka yang mengikuti jejak langkah orang yang mendapat derajar tinggi). Jelas, siapa saja yang mengikuti langkah dan perjuangan mereka yang mendapat derajat tinggi, maka mereka akan dihargai. Allah berfirman: “Sungguh dalam diri Rasulullah ada suri tauladan yang patut ditiru bagimu”. Ayat ini menegaskan kepada kita untuk mengikuti Rasulullah yang telah mendapatkan maqoman mahmuda (kedudukan terpuji) di sisi Allah agar kita mendapat hal yang sama di sisiNya. Di samping itu, salah satu orang yang akan mendapat derajat tinggi adalah para penuntut ilmu. Firman Allah SWT : “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (Al Mujadalah: 11). Ilmu adalah warisan para nabi, dan siapa yang mengikuti (tabi’) langkah nabi ia akan mendapat kehormatan (rofa’)
Berpecah Belah Adalah Kerendahan
Tanda kasroh dalam ilmu nahwu adalah salah satu tanda hukum khofadh. Secara harfiah, kata kasroh bermakna pecah atau perpecahan. Sedangkan kata khofadh bermakna kerendahan atau kehinaan. Dengan demikian suatu umat akan mengalami kerendahan dan kehinaan apabila mereka melakukan perpecahan, tidak bersatu dan tidak berukhuwah. Wajar saja bila para musuh menyantap dengan lahapnya kekayaan kaum (muslimin) disebabkan mereka tidak mau bersatu dan menjaga persatuan. Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad SAW empat belas abad lalu, tatkala beliau menyatakan bahwa suatu saat umat Islam akan menjadi santapan umat lain seperti srigala sedang menyantap makanan. Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kita sedikit ?” Rasul menjawab: “Tidak, justru kalian saat itu menjadi mayoritas, tapi kualitas kalian seperti buih. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari musush-musuh kalian kepada kalian dan Allah akan mencampakkan dalam diri kalian penyakit al-wahan”. Sahabat bertanya: “apakah penyakit al-wahan itu?” Rasul SAW menjawab: “cinta dunia dan takut mati”.
Dengan penyakit itulah, umat Islam mengalami perpecahan. Sebab yang diperjuangkan bukan lagi agama mereka, tetapi materi dan keduniaan yang pada akhirnya tidak lagi mengindahkan kekompakkan dan persatuan di antara sesama ummat Islam.
Di samping itu sifat buih, seberapa banyak dan sebesar apapun, ia akan terombang-ambing oleh angin yang meniupnya. Itulah tamsil umat Islam yang tidak memperkokoh persatuan.
Hal inilah yang diisyaratkan oleh Al-Sonhaji, bahwa penyebab segala isim (nama) menjadi makhfudh (rendah dan hina) adalah karena tunduk dan ikut-ikutan terhadap huruf khofad (faktor kerendahan). Atau dalam istilah nahwu lain, isim menjadi majrur (objek yang terseret-seret/mengikuti arus) karena disebabkan mengikuti huruf jar (faktor yang menyeret-nyeretnya) .
Karena itu, hendaknya ummat Islam selalu menjadi ikan hidup di tengah samudera. Meskipun air samudera terasa asin, namun sang ikan hidup tetap terasa tawar. Sebaliknya, jika ummat ini bagaikan ikan mati, maka ia dapat diperbuat apa saja sesuai keinginan orang lain. Bila diberi garam ia akan menjadi ikan asin dan lain sebagainya.
Berusahalah, Maka Jalan Akan Terbuka
Dalam kaidah ilmu nahwu, di antara tanda nashob adalah fathah. Secara lafdziah, kata nashob bermakna bekerja dan berpayah-payah. Sedang kata fathah bermakna terbuka. Dalam hal ini, maka mereka yang mau bekerja dan berupaya serta berpayah-payah (nashob) dalam usaha, maka mereka akan mendapatkan jalan yang terbuka (fathah). Sesulit apapun problem yang dihadapi, jika berusaha dan berpayah-payah untuk mengatasinya, maka insya Allah akan menemukan jalan keluarnya. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat di antara kalian dari laki-laki dan wanita”. (Ali Imran: 195). Dalam Kitab Diwan As-Syafi’i. Imam Syafi’i pernah menulis bait syair sebagai berikut:
سافر تجد عوضا عمن تفارقه # وانصب فان لذيذ العيش فى النصب
اني رأيت وقوف الماء يفسده # ان سال طاب وان لم يجري لم يطب
Pergilah bermusafir, maka anda akan dapatkan pengganti orang yang anda tinggalkan ; Bersusah payahlah !, karena kenikmatan hidup ini didapat dengan bersusah payah (nashob).
Sungguh aku menyaksikan mandeg-nya air dapat merusakkan dirinya ; Namun bila ia mengalir ia menjadi baik. Dan jika menggenang ia jadi tidak baik.
Dalam bait syair ini, Imam Syafi’i ingin menegaskan, bahwa orang yang berpangku tangan dan tidak mau bekerja keras akan menjadi rusak, bagaikan rusaknya air yang tergenang sehingga menjadi comberan yang kotor dan bau. Sebaliknya, bila ia mau bersusah payah dan bergerak maka ia bagaikan air jernih yang mengalir. Indahnya kenikmatan hidup ini terletak pada bersusah payah.
Bahkan al-Quran mengisyaratkan kepada kita untuk tidak berpangku tangan di tengah waktu-waktu senggang kita. Bila usai melakukan satu pekerjaan, cepatlah melakukan hal lain. Firman Allah SWT:
فاذا فرغت فانصب
“Dan jika kamu selesai (melakukan tugas), maka lakukanlah tugas lain (nashob)” (Al Insyiroh: 7).
Kepastian Akan Menimbulkan Rasa Tenang
Kaidah lain yang terdapat dalam ilmu nahwu adalah, bahwa di antara tanda jazm adalah sukun. Secara lafdziah, kata jazm bermakna kepastian. Sedang kata sukun berarti ketenangan. Ini mengajarkan kepada kita, bahwa kepastian (jazm) akan melahirkan rasa ketenangan (sukun). Orang yang tidak mendapatkan kepastian dalam suatu urusan biasanya akan merasakan kegelisahan. Sebagai contoh seorang remaja yang ingin melamar seorang gadis kemudian tidak mendapatkan kepastian, dia akan mengalami kegelisahan. Demikian juga orang yang hidupnya sendiri, ia tidak mendapatkan ketenangan. Oleh karena itu Allah SWT mengisyaratkan kita agar mempunyai teman pendamping dalam hidup ini agar mendapat ketenangan. Firman Allah SWT:
ومن آياته ان خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Ia menjadikan bagimu pasangan dari jenismu (manusia) agar kalian merasa tenteram kepadanya” (Ar Rum: 21).
Wallahu’alam
*) H. Muhammad Jamhuri, Lc MA. Adalah Alumni Pondok Pesantren Daarul Rahman Angkatan 11 (th 1990), Kini tinggal di Kota Tangerang dengan amanah sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Asy-Syukriyyah-Tangerang. Makalah ditulis di Makkah Al Mukarramah, Rabu 5 Sya’ban 1421H/1 Nopember 2000 M.

belajar dasr kaidah ushul fiqh



BAB I


PENDAHULUAN


I. Latar Belakang Masalah


Qawaidul Ushuliyah (kaidah-kaidah Ushul) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa Azhar, calon mujtahid yang akan meneruskan perjuangan pendahulu-pendahulu kita dalam membela dan menegakkan islam dimanapun berada. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul ushuliyah. Maka dari itu, kami selaku penyusun mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah ushul, mulai dari pengertian, perkembangan, sumber-sumbernya, dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah ushul.


II. Rumusan Masalah


  1. Mengerti dan memahami pengertian kaidah ushul.
  2. Menyebutkan sumber-sumber pengambilan kaidah-kaidah ushul.
  3. Menyebutkan rukun serta syarat-syarat kaidah-kaidah ushul.
  4. Mengerti persamaan serta perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqh?
  5. Mengeerti hubungan antara kaidah-kaidah ushul dengan ushul fiqh itu sendiri?
  6. Mengetahui faedah serta kedudukan kaidah-kaidah ushul.
  7. Mengetahui buku-buku yang di karang ulama tentang kaidah-kaidah ushul.


III. Tujuan Pembahasan


Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah ushul, mulai dari definisi, sumber-sumber, rukun, syarat, perbedaannya dengan kaidah-kaidah fiqh, hubungannya dengan ilmu ushul fiqh dan buku-buku yang menjadi subernya.


BAB II


PENGERTIAN


Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah ushul diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah ushul fiqh, kita kita akan mencoba menjelaskan beberapa permasalahan mulai dari defenisi kaidah secara bahasa dan istilah, defenisi ushul fiqh secara bahasa dan istilah, defenisi kaidah-kaidah ushuliyyah secara bersamaan. Didalam seluruh defenisi tadi terdapat perbedaan pendapat dalam kalangan ulama, penyusun akan mencoba menulis beberapa defenisi dari kalangan ulama atau hanya sekedar menulis defenisi yang menurut penyusun lebih rajih atau lebih kuat.


Defenisi kaidah


Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Dalam bahasa arab, kaidah memilik banyak arti diataranya: al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Al Qi’dah (cara duduk, yang baik atau yang buruk), Qo’id ar rojul (Istrinya), Dzul Qo’dah (nama salah satu bulan qomariyah yang mana orang orab tidak mengadakan perjalanan didalamnya) dan lain sebagainya.


Dari seluruh arti tadi dapat kita simpulkan bahwa kaidah secara bahasa artinya tidak akan keluar dari dasar atau pondasi dan tempat sesuatu.


Adapun secara istilah banyak sekali defenisi yang di buat oleh para ulama, tetapi yang paling lengkap dan paling baik menurut penyusun adalah:
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya.


Defenisi Ushul Fiqh


Untuk defenisi ushul fiqh sengaja penyusun tidak sebutkan karena sudah ada yang membahasnya..


Defenisi kaidah-kaidah ushuliyah


Dr. Jailany mendefinisikan sebagai:” hukum kulli (berifat umum) yang berdiri diatasnya furu’ fiqhiyah yang di bentuk dengan bentuk umum dan akurat”.


Defenisi ini belum maani’ karena kaidah-kaidah fiqh masih masuk didalamnya.


Prof. Dr. Muhammad Syabir mendefinisikan sebagai:” ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah al far’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci”.


Defenisi yang menurut penyusun lebih akurat adalah:” Hukum kulli (umum) yang dibentuk dengan bentuk yang akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil”.


BAB III


SUMBER-SUMBER PENGAMBILAN KAIDAH-KAIDAH USHUL


Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah), ‘Akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), bahasa (Ushul at tahlil al lughawi), yang secara terperinci kita jelaskan dibawah ini.


Pertama: Al Qur’an.


Al Qur’an merupakan firman Allah SAW yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, untuk membebaskan manusia dari kegelapan. Kitab ini adalah kitab undang-undang yang mengatur seluruh kehidupan manusia, firman Allah yang Maha mengetahui apa yang bermanfaat bagi manusia dan apa yang berbahaya, dan merupakan obat bagi ummat dari segalah penyakitnya. Allah berfirman :


“dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (QS. AL Isra: 82)


Dan firman Allah:


“dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS An Nahl: 89)


Ini adalah kedudukan al Qur’an. Penyusun yakin semua orang tahu itu, maka tidak perlu di perpanjang di sini.


Diantara kaidah-kaidah ushul yang di hasilkan dari Al Qur’an adalah:


1. Sunnah adalah sumber hukum yang di akui, dengan dalil


وما ينطق عن الهوي  إن هو إلا وحي يوحي


2. Al Qur’an bisa difahami dari uslub-uslub bahasa arab, dengan dalil


إنا أنزلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون


3. Adat atau kebiasaan di akui sebagai hukum pada permasalahan yang tidak memiliki dalil, dengan dalil


حذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين


Kedua: As Sunnah


Allah memberikan kemuliaan kepada nabi Muhammad SAW dengan mengutusnya sebagai nabi dan rasul terakhir untuk umat manusia dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada umat. Maka nilai kemuliaan Rasulullah bukan dari dirinya sendiri tetapi dari Sang Pengutus yaitu Allah SWT, karena siapapun yang menjadi utusan pasti lebih rendah tingkatannya dari yang mengutus. Allah Berfirman yang artinya:” Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul”. (QS. Ali Imran: 144).


Jika seluruh perintah Allah telah disampaian oleh Rasulullah kepada umat, selesailah tugasnya dan wajib bagi umat untuk memperhatikan risalah yang di sampaikan oleh rasulullah. Allah berfirman yang artinya:


“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS. Ali Imran: 144)


Banyak sekali ayat Al Qur’an yang menjelaskan bahwa sunnah Rasulullah adalah merupakan salah satu sumber agama islam, diantaranya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat: 53,132,144, 172  juga didalam surat An Nisa ayat: 42, 59, 61, 64, 65, dan masih banyak lagi. Bahkan didalam surat Al Hasyr Allah berfirman:


“apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.“


Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari hadits adalah:


  1. Perintah yang mutlak hukumnya wajib (الأمر المطلق يفيد الوجوب)
  2. Ijma’ merupakah hujjah yang di akui secara syar’I (الإجماع حجة معتبرة شرعا)
  3. Jika berkumpul perintah dan larangan maka larangan di dahulukan (إذا اجتمع الآمر والمحرم قدم المحرم)
  4. Qiyas merupakan hujjah yang di akui secara syar’I (القياس حجة معتبرة شرعا)


Ketiga: Ijma’


Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari ijma adalah:


  1. Ijma’ Sahabat bahwa “hukum yang di hasilkan dari hadits ahad dapat di terima”.
  2. Ijma’ Sahabat bahwa “hukum terbagi menjadi 5 macam”.
  3. Ijma’ Sahabat bahwa “syariat nabi Muhammad menghapus seluruh syariat yang sebelumnya”.


Keempat: Akal


Akal memiki kedudukan yang tinggi didalam syariat islam, karena kita tidak akan faham islam tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Allah itu ada? Jika dijawab Al Qur’an, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Al Qur’an benar-benar dari Allah? Jika dijawab I’jaz, apa dalil yang menunjukkan bahwa I’jazul quran sebagai dalil bahwa alqur’an bersumber dari Allah SWT? Dan seterusnya. Dengan demikian dapat kita fahami bahwa islam tidak akan kita fahami tanpa akal, oleh karena itulah akal merupakan syarat taklif dalam islam.


Meskipun demikian, ada satu hal yang harus di perhatikan dengan seksama, bahwa akal tidak bisa berkerja sendiri tanpa syar’I. Akal hanyalah sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah melalui dalil-dalil al quran dan hadits. Allah lah yang menjadi hakim, dan akal merupakan sarana untuk memahami hukum-hukum Allah tersebut.


Diantara kaidah-kaidah ushul yang di hasilkan dari akal adalah:


  1. Al Qur’an merupakan dalil yang di akui.
  2. Baik dan buruk hanya di ketahui melalui syar’I bukan akal.
  3. Yang lebih kuat didahulukan dari yang lemah.


Kelima: Perkataan Sahabat


Diantara kaidah-kaidah ushul yang diambil dari perkataan-perkataan sahabat Rasulullah adalah:


  1. Hadits-hadits Ahad zonniyah
  2. Qiyas adalah hujjah
  3. Hukum yang terakhir menghapus hukum yang terdahulu (naskh)
  4. Orang awam boleh taqlid
  5. Nash lebih di utamakan dari qiyas maupun ijma’


Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari ilmu-ilmu islam


  1. Ilmu Ushuluddin


  • Baik dan buruk dapat diketahui dengan syar’I bukan dengan akal
  • Rasulullah tidak menetapkan ijtihad yang salah
  • Tidak ada yang ma’sum kecuali nabi
  • Syari’at islam menghapus syari’at sebelumnya
  • Domir goib kadang-kadang kembali pada kalimat yang tidak tertulis, dan itu bisa di ketahui melalui siyaaq kalimat.
  • Kalimat Aina (أين) menunjukkan tempat (syarat ataupun istifham) dan (  متي و أيان) menunjukkan waktu (syarat atupun istifham)
  • Fi’il madi jika menjadi fiil syarat, ia berubah menjadi kaliamat insyaa menurut kesepakatan ahli nahwu.
  • (إلي) menunjukkan akhir sesuatu (waktu maupun tempat)
  • Dan sebagainya.
    • Kaidah  سد الذرائع
    • Kaidah adat dan kebiasaan merupakan dalil yang di akui
    • Kaidah المصالح المرسلة


2.  Ilmu Bahasa Arab


  • Domir goib kadang-kadang kembali pada kalimat yang tidak tertulis, dan itu bisa di ketahui melalui siyaaq kalimat.
  • Kalimat Aina (أين) menunjukkan tempat (syarat ataupun istifham) dan (  متي و أيان) menunjukkan waktu (syarat atupun istifham)
  • Fi’il madi jika menjadi fiil syarat, ia berubah menjadi kaliamat insyaa menurut kesepakatan ahli nahwu.
  • (إلي) menunjukkan akhir sesuatu (waktu maupun tempat)
  • Dan sebagainya.


3. Ilmu Fiqih


  • Kaidah  سد الذرائع
  • Kaidah adat dan kebiasaan merupakan dalil yang di akui
  • Kaidah المصالح المرسلة


BAB IV


RUKUN DAN SYARAT KAIDAH-KAIDAH USHUL


Rukun-rukun kaidah Ushuliyyah


Ketika kita melihat sebuah kaidah ushul, النهي للكرار (larangan menunjukkan pengulangan) umpamanya kita akan menemukan 4 rukun didalamnya:


Pertama      : Maudu’ (tema) yaitu النهي
Kedua        : Mahmuul yaitu التكرار
Ketiga        : Penisbatan antara keduanya yaitu kebergantungan rukun kedua dengan rukun pertama
Keempat     : Terjadi atau tidaknya rukun ketiga pada keduanya.. (Apakah perintah menunjukkan pengulangan benar-benar terjadi atau tidak?)


Jika keempat-empatnya adalah tasowwurot dimanakah hukumnya atau at tasdiq ??
Ahli mantiq ketika berusaha menyelesaikan permasalahan ini berbeda pada 2 pendapat:
1. Al Falasifah mengatakan bahwa at tasdiq adalah rukun ke empat saja, dengan kata lain menurut falasifah, kaidah-kaidah ushul cukup dengan satu rukun saja yaitu rukun yang keempat.
2. Imam Ar Razi mengatakan bahwa at tasdiq tidak cukup dengan rukun ke empat saja tetapi gabungan dari keempat rukun tersebut.


Syarat-syarat kaidah Ushuliyyah


  1. Harus dalam bentuk yang singkat
  2. Merupakan perkara yang sempurna
  3. Maudu’nya (temanya) harus kulli bukan juz’I (umum)
  4. Kaidah-kaidah ushul tersebut tidak bertentangan dengan syari’at dan maqosid syari’ah
  5. Tidak bertentangan dengan kaidah lain (baik itu kaidah ushul ataupun kaidah fiqh) yang sebanding dengannya atau lebih kuat darinya.
  6. Kaidah-kadiah ushul tersebut harus tegas dan tidak ragu-ragu


BAB V


HUBUNGAN ANTARA KAIDAH-KAIDAH USHUL DENGAN USHUL FIQH


Ketika kita melihat defenis dari ushul fiqh dan kaidah-kaidah ushul, akan jelas sekali perbedaan atara keduanya. Tetapi meskipun demikian, keduanya tidak akan bisa dipisahkan karena ilmu kaidah-kaidah ushul merupakan bagian dari ilmu ushul fiqh. Hubungan antara keduanya adalah hubungan atara umum dan khusus (ilmu ushul fiqh lebih umum dari ilmu kaidah-kaidah ushul).


Adapun perbedaan atara keduanya adalah sebagai berikut:


  • Mayoritas kaidah-kaidah ushul adalah nilai yang di ambil dari ushul fiqh (ushul fiqh jauh lebih luas pembahasannya daripada kaidah-kaidah ushul).
  • Perbedaan dalam segi maudu’ (tema). Tema kaidah-kaidah ushul adalah ushul fiqh itu sendiri adapun tema ushul fiqh adalah al- adillah al ijmaliayah min hautsu dobthi al fiqh.
  • Dari segi Tujuan. Tujuan dari kaidah-kaidah ushul adalah menyempurnakan ushul fiqh dengan cara menyempurnakan nilai-nilai ushul dengal lafaz yang singkat, dan mengembalikan nilai-nilai tersebut kepada nilai yang lebih umum yang menjadi kaidah buat kaidah tersebut.  Dengan demikian tujuan ilmu kaidah-kaidah ushul adalah ingin memberikan bentuk lain untuk ushul fiqh dalam bentuk kaidah yang lebih singkat dan sistematis. Adapun tujuan ushul fiqh adalah pencapaian nilai-nilai yang dapat menyempurnakan ijtihad dalam fiqh.
  • Dari segi histories (Apakah ushul fiqh muncul terlebih dahulu atau kaidah-kaidah ushul?)


Sahabat-sahabat Rasulullah, tabi’in dan yang mengikuti mereka sejak dahulu telah berijithad dengan memakai kaidah-kaidah ushul.  Kemudian pembahasan semakin luas hingga muncullah ilmu ushul fiqh. Demikian juga ilmu ushul fiqh semakin luas hingga di butuhkan kaidah-kaidah singkat yang dapat dengan mudah diterapkan oleh seorang mujtahid, dan inilah yang menjadi tonggak munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul. Dengan demikian kaidah-kaidah ushul lebih dahulu muncul dari ilmu ushul fiqh, dah ilmu ushul fiqh muncul sebelum munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul.


BAB VI


PERBEDAAN ANTARA KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH DENGAK KAIDAH-KAIDAH FIQHIYYAH


Persamaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqh terletak pada kesaaman sebagai wasilah pengambilan hukum. Keduanya merupakan prinsip umum yang mencakup masalah-masalah dalam kajian syari’ah. Oleh karena itu, dalam perspetif ini kaidah ushul sangatlah mirip dengan kaidah fiqih.


Namun, kita pun bisa melihat perbedaan yang signifikan dari kedua kaidah tersebut, secara ringkas perbedaan kedua kaidah tersebut adalah sebagai berikut :


  1. Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
  2. Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
  3. Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
  4. Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain
  5. Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
  6. Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’I. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid ‘alim dan bukank hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
  7. Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh


BAB VII



FAEDAH KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQH



DAN KEDUDUKANNYA DIANTARA ILMU-ILMU SYARA’


1. Faedah Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh


Manfaat sesuatu bisa dilihat dari buah atau nilai yang di hasilkannya, begitu juga dengan kaidah-kaidah ushul. Jika kita ingin mengetahui manfaat serta kedudukannya maka hendaklah kita melihat kepada nilai atau buah yang dihasilkan oleh kaidah-kaidah ushul fiqh itu sendiri.. Setiap manusia berbuat sesuai dengan kemaslahatannya, jika tidak ada maslahat (minimal dalam pandangannya), ia tidak akan melaksanakannya. Maslahat dibagi dua, dunia dan akhirat. Sebagai muslim tentu berkeyakinan bahwa maslahat dunia adalah sarana untuk mencapat kebahagiaan utama di akhirat nanti.


Setelah ilmu aqidah, ilmu yang membahas tentang hukum-hukum praktis merupakan ilmu yang paling penting dan harus dikuasai. Hukum-hukum ini bisa di ketahui, baik dengan cara taqlid atau ijtihad. Beribadah atas dasar taqlid tidak sama derajatnya jika dibandingkan dengan beribadah atas dasar ijitihad. Imam Ghazali berkata:” Sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang menggabungkan antara akal dan as-sam’ (Al-Qur’an dan Sunnah) dan yang menyertakan pendapat dan syara’”.


Abu Bakar Al-Qoffal As-Syasyi berkata dalam bukunya “al-ushul”:” Ketahuilah bahwa Nash yang mencakup segala kejadian tidak ada, dan hukum-hukum memiliki ushul dan furu’ , dan furu’ tidak bisa diketahui kecuali dengan ushul, dan nilai-nilai itu tidak dapat di ketahui kecuali dengan ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ilmu ini diambil dari syara’ dan akal yang suci secara bersamaan. Ia tidak menolak syara’ tidak pula menolak akal. Karena keutamaan ilmu ini lah, banyak orang yang mempelajarinya. Ulama yang faham ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya adalah ulama yang tinggi derajatnya, tinggi wibawanya ,memiliki banyak pengikut dan murid. Maka hendaklah memulai dengan ushul untuk mengetahui hukum-hukum furu“.


Diantara faedah kaidah-kaidah ushul fiqh adalah:


  1. Dapat mengangkat derajat seseorang dari taqlid menjadi yaqin. Allah berfirman yang artinya:” niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan“. (QS. Al-Mujadalah: 11)
  2. Kaidah-kaidah ushul merupakan asas dan pondasi seluruh ilmu-ilmu islam lainnya. Maka ilmu fiqh, tafsir, hadits dan ilmu kalam tidak akan sempurna tanpanya. Kaidah-kaidah ushul menjadikan pemahaman terhadap al-quran dan sunnah dan sumber-sumber islam lainnya menjadi akurat.
  3. Dengan memahami kaidah-kaidah ushul, seseorang dapat dengan mudah mengambil kesimpulan-kesimpulan hukum syari’ah al-far’iyyah dari dalil-dalilnya langsung dan terus melaksanakannya. Karena kaidah-kaidah ushul merupakan sarana yang menghantarkan seseorang pada hukum-hukum fiqh.
  4. kaidah-kaidah ushul berusaha membentuk kembali ilmu ushul fiqh dalam bentuk yang baru, lebih singkat dan akurat yang dapat membantu seorang mujtahid dalam pengambilan hukum.
  5. Seorang yang faham ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya akan dapat dengan mudah mengcounter pemikiran-pemikiran yang berusaha menyerang hukum-hukum islam yang telah mapan seperti wajibnya rajam, hudud dan lain sebagainya.
  6. Tujuan akhir adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.


2. Kedudukan Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh


Kedudukan dan keutamaan sebuah ilmu tidak lepas dari tema, objek, tujuan, apa yang di bahas, besar kebutuhan, kekuatan dalilnya serta maslahat yang dihasilkannya. Semakin besar faedahnya semakin tinggi pula kedudukannya. Kaidah-kaidah ushul memiliki kedudukan tinggi, yaitu berada pada urutan pertama setelah ilmu akidah.


Penjelasannya:


  1. Dari segi faedah dan buah yang di hasilkan oleh kaidah-kaidah ushul, penyusun telah jelaskan pada penjelasan faedah-faedah ushul fiqh diatas.
  2. Dari segi objeknya, penyusun telah jelaskan bahwa objek kaidah-kaidah ushul adalah ushul fiqh itu sendiri dari segi keakuratannya. Juga membahas nilai-nilai ushul fiqh untuk di undang-undangkan. Jika ilmu ushul fiqh memiliki kedudukan tinggi dalam islam, bagaimanakah kedudukan sebuah ilmu yang bertugas menambah keakuratan ushul fiqh?
  3. Dari segi tujuannya, tujuannya adalah pengambilan hukum syara’ yang praktis dari dalil-dali syara’ dan memperjuangkannya serta memberikan keakuratan dalam berijtihad dan kondisi mujtahid.  Usaha untuk mengetahui hukum-hukum Allah adalah merupakan kewajiban terpenting dan merupakan tujuan penciptaan kita di dalam kehidupan ini. Ilmu apapun yang memiliki tujuan ini adalah ilmu yang memiliki kedudukan tinggi.
  4. Dari segi kebutuhan. Tidak ada kebahagiaan didunia maupun di akhirat tanpa syari’at Allah. Dan syariat Allah tidak akan dapat diketahui tanpa kaidah-kaidah ushul. Ma la yatimmu al-fadil illa bihi fahuwa faadhil.


BAB VIII


BUKU-BUKU KARANGAN ULAMA TENTANG KAIDAH-KAIDAH USHUL


Sebenarnya banyak sekali buku-buku tentang kaidah-kaidah ushul yang dikarang para ulama sejak dahulu hingga awal abad 20 dan dari awal abad 20 hingga sekarang, tetapi pada bab ini penyusun hanya akan menyebutkan nama-nama buku yang membahas tentang kaidah-kaidah ushul yang merupakan referensi utama dalam masalah ini. Bagi yang ingin mengetahui lebih, bisa membaca buku Nadzoriyah at taq’id al Ushuly karya Dr. Aiman Abdul Hamid Al-Badaroin atau buku-buku lainnya.


Diantara buku-buku itu adalah:


  1. Ta’sis An Nazor karya Ubaidillah bin Umar bin Isa Ad Dabusy (364-430 H)
  2. Takhrijul Al-Furu’ Ala Al-Ushul karya Mahmud bin Ahmad bin Mahmud Abu Al Manqib Al Jinzani (573-656 H)
  3. Miftah Al-Wusul ila takhrij al-furu’ ala al-Ushul karya Syarif At Tilmisany (710-771 H)
  4. At Tamhid fi at-takhrij al-furu’ ala al-ushul karya Al Isnawi (7.4-772 H)
  5. Al-Qowaid wa al-Fawaid Al-Ushuliyah wa ma yata’allaqu biha min al-Ahkam al-far’iyyah karya Ibn Al-Liham Al Hanbaly ( wafat tahun 803 H)
  6. Al-Wusul ila Qowaid al-ushul karya imam Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Al Hanafy ( wafat tahun 1007 H)
  7. At-Tahrir karya Kamal bin Al Hamam (matan)
  8. At-Tanqih karya Ibnu Mas’ud Al-Hanafi (matan)
  9. Mu’tasar al-muntaha al-ushuly karya Ibnu Al-Hajib (matan)
  10. Al-Waroqot fi Ushul Al-Fiqh karya Al-Juwaini
  11. Minhaj Al-Ushul ila ilmi al-ushul karya Al-Baidawy
  12. Raudhatunnazir wa jannatul muanzir karya Ibnu Qudamah
  13. Al-Ihkam fi Ushul al-ahkam karya Al-Amadi
  14. Al-Irsyad wa at-taqrib karya Abu Bakar Al-Baqillani
  15. Ushul Fiqh karya Syekh Al-Hadary (wafat tahun 1927 M)
  16. Ilmu Ushul fiqh karya Syekh Abdul Wahab Khalaf (1888 – 1956 M)
  17. Taqnin Ushul Fiqh karya Dr. Muhammad Zaki Abdul Bar


BAB IX


PENUTUP


Kesimpulan


  1. Kaidah-kaidah ushul fiqh adalah ilmu yang mandiri. Seluruh ulama sepakat bahwa perbedaan antara ilmu dengan ilmu yang lain disebabkan oleh faktor tema atau objek serta tujuan dari ilmu itu sendiri. Ilmu Kaidah-kaidah ushul fiqh memiliki objek dan tujuan yang berbeda dengan ilmu lainnya bahkan berbeda dengan objek serta tujuan ilmu Ushul fiqh. Itu artinya ilmu kaidah-kaidah ushul fiqh adalah ilmu yang berdiri sendiri.
  2. Kaidah-kaidah ushul, apakah merupakan dalil atau tidak dapat dikategorikan pada dua kategori yaitu: Pertama: Kaidah-kaidah ushul yang berdiri sendiri yaitu yang berpatokan pada sumber-sumber islam seperti Al qur’an adalah hujjah, begitu juga dengan sunnah, ijma’ qiyas, masholih mursalah, saddu ad dzaroi’ dan Istishab. Diantara kaidah ini ada yang disepakati oleh ulama sebagai hujjah dan ada yang masih dalam perdebatan dikalangan ulama.  Kedua: Kaidah-kaidah yang tidak berdiri sendiri tetapi hanya sebuah alat. Kaidah-kaidah itu adalah  yang diambil dari bahasa arab dan lainnya. Yang kedua ini bukan merupakan dalil yang mandiri tetapi hanya berfungsi sebagai sarana.
  3. Ilmu kaidah-kaidah ushul fiqh tidak bisa dipisahkan dari ilmu ushul fiqh itu sendiri. Karena ilmu ini merupakan bagian dari ilmu ushul fiqh. Hubuangan antara keduanya adalah hubungan antara umum dan khusus.


Saran


Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan sedikit buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul Ushuliyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, seperti buku-buku yang penyusun tulis dalam bab VIII atau buku-buku lain yang tidak kalah pentingnya dari buku-buku tersebut.


DAFTAR PUSTAKA


Dr. Aiman Abdul Hamid Al-Badrain, 2005, Nadzoriyyah At-Taq’id Al-Ushuly, Kairo: Dar Ibn Hajm


Dr. Muhammad Dzuhaily, 2004, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah ala Al-Madzhab Al-Hanafy wa As-Safi’I, Kuwait: Majlis Al-Nasr Al-’Ilmy


Dr. Abdul Karim Zaidan, 2006, Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qowaid Al-Fiqhiyah fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, Beirut-Libanon: Muassasah Ar Risalah Nasyirun


Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi ilm Al-Ushul, Beirut : Dar El-Kutub El-Ilmiyah, cetakan tahun 1413 H


Al-Jailany Al-Marini, Al-Qowaid Al-Ushuliyah wa tatbiqotiha ‘inda Ibn Quddamah fi kitab Al-Mugni, Kairo : Dar Ibn Affan, cetakan pertama tahun 2002 M


Syabir, Muhammad Utsman, Al-Qowaid al-Kulliyah wa ad-Dhowabit Al-Fiqhiyah, Yordania : Dar El-Furqon, cetakan pertama, tahun 2000





* Makalah disampaikan dalam kajian fakultatif di Bagas Godang KPTS, hari kamis tanggal 15 Oktober 2009 pukul 18.00 waktu Kairo.

Alfiyah ibnu malik

بسم الله الرحمن الرحيم
مقدمة

قال محمد هو ابن مالك  #  احمد ربي الله خير مالك
Muhammad anak lelakinya Malik berkata  *  Aku memuji Allah Tuhanku Sebaik-baiknya Raja
Ibnu Malik, nama lengkapnya adalah Muhammad Jamaluddin ibn Abdillah ibn Malik al-Thay, lahir pada tahun 600 H. di Jayyan. Daerah ini sebuah kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol). Pada saat itu, penduduk negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam menempuh pendidikan, bahkan berpacu pula dalam karang-mengarang buku-buku ilmiah. Pada masa kecil, Ibn Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar pada Syaikh Al-Syalaubini (w. 645 H). Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus. Di sana ia belajar ilmu dari beberapa ulama setempat, antara lain Al-Sakhawi (w. 643 H). Dari sana berangkat lagi ke Aleppo, dan belajar ilmu kepada Syaikh Ibn Ya’isy al-Halaby (w. 643 H).

Di kawasan dua kota ini nama Ibn Malik mulai dikenal dan dikagumi oleh para ilmuan, karena cerdas dan pemikirannya jernih. Ia banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang menggambarkan teori-teori mazhab Andalusia, yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria waktu itu. Teori nahwiyah semacam ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya, seperti imam Al-Nawawi, Ibn al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat Ibn Jama’ah. Untuk menguatkan teorinya, sarjana besar kelahiran Eropa ini, senantiasa mengambil saksi (syahid) dari teks-teks Al-Qur’an. Kalau tidak didapatkan, ia menyajikan teks Al-Hadits. Kalau tidak didapatkan lagi, ia mengambil saksi dari sya’ir-sya’ir sastrawan Arab kenamaan. Semua pemikiran yang diproses melalui paradigma ini dituangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik berbentuk nazhom (syair puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karangan tokoh ini lebih baik dan lebih indah dari pada tokoh-tokoh pendahulunya.

Di antara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya, ternyata tulisan itu lebih banyak berbentuk nazham. Demikian tulisan Al-Sayuthi dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya adalah Nazhom al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan semua informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan komentar (syarah). Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan nama Alfiyah Ibn Malik. Kitab ini bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan) karena bait syairnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari delapan puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait.

Bab yang terpendek diisi oleh dua bait seperti Bab al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang adalah Jama’ Taktsir karena diisi empat puluh dua bait. Dalam muqaddimahnya, kitab puisi yang memakai Bahar Rojaz ini disusun dengan maksud (1) menghimpun semua permasalahan nahwiyah dan shorof yang dianggap penting. (2) menerangkan hal-hal yang rumit dengan bahasa yang singkat , tetapi sanggup menghimpun kaidah yang berbeda-beda, atau dengan sebuah contoh yang bisa menggambarkan satu persyaratan yang diperlukan oleh kaidah itu.(3) membangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari isinya. Semua itu terbukti, sehingga kitab ini lebih baik dari pada Kitab Alfiyah karya Ibn Mu’thi. Meskipun begitu, penulisnya tetap menghargai Ibnu Mu’thi karena tokoh ini membuka kreativitas dan lebih senior. Dalam Islam, semua junior harus menghargai seniornya, paling tidak karena dia lebih sepuh, dan menampilkan kreativitas.

Kitab Khulashoh yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia ini, memiliki posisi yang penting dalam perkembangan Ilmu Nahwu. Berkat kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibn Malik menjadi popular, dan pendapatnya banyak dikutip oleh para ulama, termasuk ulama yang mengembangkan ilmu di Timur. Al-Radli, seorang cendekiawan besar ketika menyusun Syarah Al-Kafiyah karya Ibn Hajib, banyaklah mengutip dan mempopulerkan pendapat Ibn Malik. Dengan kata lain, perkembangan nahwu setelah ambruknya beberapa akademisi Abbasiyah di Baghdad, dan merosotnya para ilmuan Daulat Fathimiyah di Mesir, maka para pelajar pada umumnya mengikuti pemikiran Ibnu Malik. Sebelum kerajaan besar di Andalusia runtuh, pelajaran nahwu pada awalnya, tidak banyak diminati oleh masyarakat. Tetapi setelah lama, pelajaran ini menjadi kebutuhan dan dinamislah gerakan karang-mengarang kitab tentang ilmu yang menarik bagi kaum santri ini. Di sana beredarlah banyak karangan yang beda-beda, dari karangan yang paling singkat sampai karangan yang terurai lebar. Maksud penulisnya ingin menyebarkan ilmu ini, kepada masyarakat, dan dapat diambil manfaat oleh kaum pelajar. Dari sekian banyak itu, muncullah Ibn Malik, Ibn Hisyam, dan al-Sayuthi. Karangan mereka tentang kitab-kitab nahwu banyak menampilkan metoda baru dan banyak menyajikan trobosan baru, yang memperkaya khazanah keilmuan. Mereka tetap menampilkan khazanah keilmuan baru, meskipun banyak pula teori-teori lama yang masih dipakai. Dengan kata lain, mereka menampilkan gagasan dan kreatifitas yang baru, seolah-olah hidup mereka disiapkan untuk menjadi penerus Imam Sibawaih (Penggagas munculnya Nahwu dan Shorof, red.). Atas dasar itu, Alfiyah Ibn Malik adalah kitab yang amat banyak dibantu oleh ulama-ulama lain dengan menulis syarah (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap syarah itu.

Dalam kitab Kasyf al-Zhunun, para ulama penulis Syarah Alfiyah berjumlah lebih dari empat puluh orang. Mereka ada yang menulis dengan panjang lebar, ada yang menulis dengan singkat (mukhtashar), dan ada pula ulama yang tulisannya belum selesai. Di sela-sela itu muncullah beberapa kreasi baru dari beberapa ulama yang memberikan catatan pinggir (hasyiyah) terhadap kitab-kitab syarah. Syarah Alfiyah yang ditulis pertama adalah buah pena putera Ibn Malik sendiri, Muhammad Badruddin (w.686 H). Syarah ini banyak mengkritik pemikiran nahwiyah yang diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian maf’ul mutlaq, tanazu’ dan sifat mutasyabihat. Kritikannya itu aneh tapi putera ini yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu, Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari ayat al-Qur’an. Disitu tampak rasional juga, tetapi hampir semua ilmuan tahu bahwa tidak semua teks al-Qur’an bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh ulama. Kritikus yang pada masa mudanya bertempat di Ba’labak ini, sangat rasional dan cukup beralasan, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori nahwiyah yang syadz Karena itu, penulis-penulis Syarah Alfiyah yang muncul berikutnya, seperti Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur pemikiran putra Ibn Malik tadi. Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup menarik, sehingga banyak juga ulama besar yang menulis hasyiyah untuknya, seperti karya Ibn Jama’ah (w.819 H), Al-‘Ainy (w.855 H), Zakaria al-Anshariy (w.191 H), Al-Sayuthi (w.911 H), Ibn Qasim al-Abbadi (w.994 H), dan Qadli Taqiyuddin ibn Abdulqadir al-Tamimiy (w.1005 H).

Di antara penulis-penulis syarah Alfiyah lainnya, yang bisa ditampilkan dalam tulisan ini, adalah Al-Muradi, Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni.

Al-Muradi (w. 749 H) menulis dua kitab syarah untuk kitab Tashil al-Fawaid dan Nazham Alfiyah, keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah ini tidak popular di Indonseia, tetapi pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh ulama lain. Antara lain Al-Damaminy (w. 827 H) seorang sastrawan besar ketika menulis syarah Tashil al-Fawaid menjadikan karya Al-Muradi itu sebagai kitab rujukan. Begitu pula Al-Asymuni ketika menyusun Syarah Alfiyah dan Ibn Hisyam ketika menyusun Al-Mughni banyak mengutip pemikiran al-Muradi yang muridnya Abu Hayyan itu.

Ibn Hisyam (w.761 H) adalah ahli nahwu raksasa yang karya-karyanya banyak dikagumi oleh ulama berikutnya. Di antara karya itu Syarah Alfiyah yang bernama Audlah al-Masalik yang terkenal dengan sebutan Audlah . Dalam kitab ini ia banyak menyempurnakan definisi suatu istilah yang konsepnya telah disusun oleh Ibn Malik, seperti definisi tentang tamyiz. Ia juga banyak menertibkan kaidah-kaidah yang antara satu sama lain bertemu, seperti kaidah-kaidah dalam Bab Tashrif. Tentu saja, ia tidak hanya terpaku oleh Mazhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab Kufa, Bashrah dan semacamnya. Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak ulama besar yang menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Al-Sayuthi, Hasyiyah Ibn Jama’ah, Ha-syiyah Putera Ibn Hisyam sendiri, Hasyiyah Al-Ainiy, Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah Al-Sa’di al-Maliki al-Makki, dan yang menarik lagi adalah catatan kaki ( ta’liq ) bagi Kitab al-Taudlih yang disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari (w. 905 H).

Adapun Ibn Aqil (w. 769 H) adalah ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat sebagai penghulu besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal adalah Syarah Alfiyah. Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna oleh orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia mampu menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Penulis berpendapat, bahwa kitab ini adalah Syarah Alfiyah yang paling banyak beredar di pondok-pondok pesantren, dan banyak dibaca oleh kaum santri di Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah al-Ajhuri, Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah Al-Khudlariy.

Syarah Alfiyah yang hebat lagi adalah Manhaj al-Salik karya Al-Asymuni (w. 929 H). Syarah ini sangat kaya akan informasi, dan sumber kutipannya sangat bervariasi. Syarah ini dapat dinilai sebagai kitab nahwu yang paling sempurna, karena memasukkan berbagai pendapat mazhab dengan argumentasinya masing-masing. Dalam syarah ini, pendapat para penulis Syarah Alfiyah sebelumnya banyak dikutip dan dianalisa. Antara lain mengulas pendapat Putra Ibn Malik, Al-Muradi, Ibn Aqil, Al-Sayuthi, dan Ibn Hisyam, bahkan dikutip pula komentar Ibn Malik sendiri yang dituangkan dalam Syarah Al-Kafiyah , tetapi tidak dicantumkan dalam Alfiyah . Semua kutipan-kutipan itu diletakkan pada posisi yang tepat dan disajikan secara sistematis, sehingga para pembaca mudah menyelusuri suatu pendapat dari sumber aslinya.

Kitab ini memiliki banyak hasyiyah juga, antara lain : Hasyiyah Hasan ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah Ahmad ibn Umar al-Asqathi, Hasyiyah al-Hifni, dan Hasyiyah al-Shabban. Dalam muqaddimah hasyiyah yang disebut akhir ini, penulisnya mencantumkan ulasan, bahwa metodanya didasarkan atas tiga unsur, yaitu (a) Karangannya akan merangkum semua pendapat ulama nahwu yang mendahului penulis, yang terurai dalam kitab-kitab syarah al-Asymuni. (b) Karangannya akan mengulas beberapa masalah yang sering menimbulkan salah faham bagi pembaca. (c) Menyajikan komentar baru yang belum ditampilkan oleh penulis hasyiyah sebelumnya. Dengan demikian, kitab ini bisa dinilai sebagai pelengkap catatan bagi orang yang ingin mempelajari teori-teori ilmu nahwu.
مصليا على الرسول المصطفى  #  واهله المستكملين الشرفا
Dengan membaca sholawat atas Rasul yang Terpilih * dan keluarganya yaitu orang-orang yang semprna lagi mulia.
واستعين الله في الفية  #  مقاصد النحو بها محوية
Dan aku minta tolong pada Allah didalam menyusun Kitab Alfiyah * yang denganya , maksud-maksud ilmu nahwu telah tercakup.
تفرب الأقصى بلفظ موجز  #  وتبسط البذل بوعد منجز
(Alfiyah) mendekatkan/menjangkau pengertian yang jauh/mendalam dengan lafazh yang singkat * dan meluaskan pemberian /pemahaman yang banyak dengan janji yang kontan (waktu yang cepat)
وتقتضى رضا بغير سخط  #  فائقة ألفية ابن المعطى
Maka ia menuntut keridhoan tanpa kemarahan ( ketekunan dan kesabaran dalam mempelajarinya ) * Ia telah mencakup Kitab Alfiyah karangan Ibn Mu’thi.
وهو بسبق حائز تفضيلا  #  مستوجب ثنائي الجميلا
Dan sebab lebih dulu sebetulnya beliaulah yang berhaq memperoleh keutamaan * dan  mewajibkan pujian baiku (untuknya ).
والله يقضى بهبات وافرة  #  لي وله في درجات الأخرة
Semoga Allah mnetapkan pemberian-pemberian yang sempurna * untuku dan untuknya didalam derajat-derajat akhirat.
http://umarein.yolasite.com/alfiyah

kaidah ushul ...gampang2 susah


Kaidah Ushul fiqh adalah materi yang harus dimiliki untuk setiap santri


Membaca buku Humor Ngaji Kaum Santri, Hamzah Sahal, Pustaka Pesantren Jogja ibarat mengarungi lautan dengan menggunakan sebuah kapal badut. Kita tidak merasa takut, karena lupa betapa dalam laut yang kita arungi, yang terasa hanyalah segarnya angin dan riangnya tawa dan canda.

Bagi sebagian besar orang, kalau disebut istilah "Kaidah-kaidah (Ushul) Fiqih", tentu yang terbayang adalah serangkaian kalimat dalam bahasa Arab, yang bahkan terjemahannya pun membuat dahi mengerenyit. Tapi di tangan Hamzah Sahal, semua mitos itu berubah. Kemampuan ini mungkin dapat disetarakan dengan "angker"-nya dunia Tasawuf yang sirna di dalam kisah-kisah Mullah Nasruddin Hoja alias Juha Al-Arabi, Bahlul, Abu Nuwas, dsb.

Kaidah-kaidah (Ushul) Fiqih tidak seseram yang dibayangkan orang. Semuanya hanyalah kenyataan logis yang bahkan telah biasa kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kaidah adh-dhararu yuzaalu, alias menghindari hal-hal yang buruk (mudharat). Secara wajar dalam memilih alternatif dari suatu tindakan orang akan menghindari hal-hal yang merugikan dia. Namun bagaimana kaidah seperti ini bisa menjadi sebuah lelucon?

Konon, Ngalim (tokoh utama kisah ini) berhadapan dengan malaikat. Saat dia diperintahkan masuk neraka karena banyak dosa dalam hidupnya. Ngalim menolak, dan megajukan dalilnya:

"Tidak, pokoknya saya hanya mau masuk sorga. Kata Pak Ahmad (guru Kaidah Fiqih di tempat Ngalim nyantri), Tuhan saja tidak pernah memaksa hambanya. Dalam kaidah fiqih juga diperintahkan untuk menghilangkan mara bahaya. Adh-dhararu yazuulu: kemudharatan itu harus dihilangkan. Ini tidak main-main, sebab Imam as-Suyuthi yang merumuskannya." (Kaidah 5, hal. 9)


Bukan hanya itu. Ngalim juga mewakili kelakuan "wajar" kita yang mungkin akan mengenakan kacamata hitam saat orang-orang se-kost, kontrakan, atau sekelas pada kena belekan (sakit mata, merah dan gatal). Saat dia diprotes oleh teman-temannya, kenapa dia pakai kacamata, padahal yang belekan teman-temannya, dia bilang:

"Justru karena sehat, saya pakai kacamata. Ad-daf'u aqwaa min ar-raf'i. Artinya, mumpung belum kena, jaga-jaga," kata Ngalim beralasan." (Kaidah 22, hal. 52)


Banyak contoh lagi, yang mungkin diluar dugaan kita, bahwa kejadian sehari-hari berikut ternyata sesuai dengan kaidah fikih. Misalnya, mengapa dosen/guru berhak mencoret nilai kita kalau kita nyontek, meskipun tidak dicantumkan tulisan "close book" atau pun "open book" (Kaidah 3, hal. 5), mengapa tukang balon tidak meniup balon hingga besarnya melampaui batasan tertentu (Kaidah 38, hal. 83), termasuk dalil bahwa bayar angkot/bus jauh dekat sama saja (Kaidah 49, hal. 105), dan masih banyak lagi.

Kecenderungan pluralisme madzhab (bukan madzhab pluralisme) juga ditampakkan oleh penulis saat dia harus menyoroti berbagai perbedaan dalam madzab fikih.

Saat menjawab pertanyaan seorang peserta seminar, yang berpendapat bahwa Umat Islam harus bersatu dalam hukum (fikih) maupun politik, Ngalim menjawab bahwa apa pun yang menjadi dalilnya, sebagian besar fatwa (hukum/politik) adalah hasil ijtihad para ulama, sedangkan:
"Al-ijtihaadu laa yunqadhu bi al-ijtihaadi: ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad lain,". Semua perbedaan, yang terjadi sejak jaman Nabi Muhammad saw. sampai sekarang harus kita lihat dalam konteks ijtihad, termasuk orang yang mengaku-aku berpaku pada Al-Quran dan hadits secara murni." (Kaidah 7, hal. 13)


Mungkin jadi pertanyaan, mengapa berpegang pada Al-Quran dan hadits secara murni pun disebut ijtihad. Sebab, para ahli pun sering berbeda pendapat apakah sebuah nash harus dipahami secara harfiyah atau harus dipahami secara kontekstual, misalnya nash tentang melihat bulan. Berbagai perbedaan yang muncul sampai saat ini pun muncul karena perbedaan pemahanan tekstual maupun kontekstual dari nash. Karena itulah, Kaum Santri tidak disebut sebagai Islam Garis Keras, karena mereka amat menghargai
perbedaan ijtihad yang muncul di kalangan para ulama, tidak bersikeras memaksakan pendapat diri/golongan sendiri. (Kaidah 18, hal. 39)

Tapi berbicara tentang Kaum Santri, jangan berfikir yang serba "'alim" dan mutawadli' saja.
Beberapa unsur "mbeling"-nya para santri juga terungkap dalam bentuk "pemerkosaan" kaidah-kaidah fikih untuk melakukan justifikasi atas tindakan-tindakan mereka. Misalnya, santri yang melakukan pembenaran atas tindakan "nyontek"-nya, (Kaidah 3, hal. 5), atau saat membela diri karena ketahuan main kartu (gapleh) di asrama (Kaidah 13, hal. 29), dan yang tidak kalah konyol adalah memanfaatkan kaidah fikih untuk "memuaskan perut" saat ditraktir senior (Kaidah 10, hal. 21).
***


Saya jadi teringat pernyataan seorang 'alim (ngalim, dalam logat Jawa), saat dia ditanya oleh teman-temannya, "Mengapa ente belajar Ushul Fiqih, memangnya mau jadi Mufti?"

Dia menjawab, "Salah besar kalau menganggap orang belajar Fiqih dan Ushul Fiqih hanya kalau mau jadi ulama/Mufti. Orang awam pun wajib berijtihad sesuai dengan kadar kemampuannya.

Pertama, para ulama/mufti banyak berbeda pendapat dalam suatu masalah. Dalam hal ini, si orang awam mau mengambil fatwa yang mana yang mau dia pakai, dia harus berijtihad.
Kedua, fatwa ulama/mufti bersifat umum (kulli). Setiap orang memiliki suatu kondisi khusus yang membuat dia harus menentukan bagaimana bentuk pelaksanaan fatwa itu. Ini disebut dengan taskhishul mawdhu' (pengkhususan masalah).
Ketiga, tidak setiap saat orang bisa bertanya pada ulama/mufti. Dalam
keadaan mendesak, butuh keputusan cepat, dia harus berijtihad untuk dirinya sendiri.
Dengan ketiga alasan di atas, maka orang awam pun harus mempelajari Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih."

Nah, mungkin, biar tidak stress dalam mempelajari Ilmu Kaidah (Ushul) Fiqih, Anda perlu mempelajarinya dengan santai sambil tersenyum-senyum. Dalam hal ini, buku ini akan sangat membantu. Lumayan, bisa mempelajari 5 kaidah pokok dan 40 kaidah umum yang muttafaq alayh, serta 5 kaidah turunan

Empat Hal yang sudah ditentukan Allah


 Empat Hal yang sudah ditentukan Allah

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits shahih yang berbunyi:


عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ الله ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ حَدَّثَنَا رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ: إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ .


Diriwayatkan dari bapak Abdir Rahman, yaitu Abdullah bin Mas’ud ra. Katanya: Telah menceriterakan kepada kami Rasulullah saw ( orang yang selalu benar dan dibenar kan) :”sesungguhnya salah seorang dari kamu sekalian dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya selama empat pulah hari berupa air mani. Kemudian menjadi segumpal darah dalam waktu empat puluh hari. Kemudian menjadi segumpal daging dalam waktu empat puluh hari. Lalu diutus seorang malaikat kepada janin tersebut dan ditiupkan ruh kepadanya dan malaikat tersebut diperintahkan untuk menuliskan empat perkara, yaitu: menulis rizkinya, batas umur-nya, pekerjaannya dan kecelakaan atau kebahagiaan hidupnya”.


Hadits di atas ini adalah berita dari Allah swt. kepada seluruh manusia lewat Rasulullah saw yang menerangkan bahwa hakekat dari rizki, umur, pekerjaan dan kebahagiaan atau kecelakaan termasuk jodoh telah ditentukan oleh Allah SWT sebelum seseorang lahir ke dunia. Apapun yang telah Allah ketahui dan tetapkan pada setiap manusia maka tidak akan pernah berubah, dan hanya Allah lah yang mengetahui apa yang telah terjadi dan yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi. Tetapi meskipun demikian bukan berarti kita hanya tinggal menunggu, malas-malasan dengan alasan sudah ditentukan. Karena hanya Allahlah yang tahu hakikatnya. Oleh karena itulah Allah dan Rasulnya menyuruh setiap orang untuk terus berikhtiar, berusaha serta melakukan pekejaan yang dapat mengantarkan dirinya kepada cita-citanya, setiap orang muslim harus berpegangan kepada rahmat Allah yang sangat luas yang dengan rahmat tersebut Allah Maha Kuasa untuk mengabulkan dan menuruti keinginannya. Kemudian setelah orang muslim tersebut berusaha dan cita-citanya belum tercapai, baru dia ber-sandar kepada hakekat, agar jiwanya tidak stres.



DAPATKAH KETENTUAN ITU DIUBAH.



Mungkin terdetik didalam pikiran kita sebuah pertanyaan, apakah hal-hal yang telah ditentukan oleh Allah SWT bisa diubah atau tidak? Sebagai contoh apakah umur kita bisa bertambah panjang atau tidak?


Rasulullah SAW bersabda:


عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (من سره أن يبسط له في رزقه أو ينسأ له في آثره فليصل رحمه) رواه البخاري(


Kira-kira artinya Diriwayatkan dari Anas bin Malik R.A ia berkata:” saya mendengar Rasulullah bersabda:”Barangsiapa yang ingin di lancarkan rezkinya atau dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menyambung silaturrahmi”. (HR. Bukhori)


Dari hadits ini kita bisa pahami bahwa orang yang menyambung silaturrahmi akan Allah lancarkan rezkinya dan akan dipanjangkan umurnya. Artinya rezki dan umur bisa berubah dengan menyambung tali silaturrahmi.


Secara sekilas kalau kita perhatikan hadits ini bertentangan dengan ayat-ayat alquran dan hadits2x Rasulullah yang menjelaskan bahwa azal, rizki dan lainnya tidak bisa dirubah, seperti firman Allah SWT:


فإذا جاء أجلهم لا يستأخرون ساعة ولا يستقدمون


Ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa tatkala azal tiba maka tak seorang pun yang bisa mengundurkan untuk sesaat maupun mempercepatnya.


Sebenarnya hadits dan ayat tersebut tidak bertentangan. Karena kita bisa mengambil titik temu antara keduanya. Dalam hal ini sedikitnya ada dua kemungkinan:


· Pertama, maksud tambahan umur didalam hadits tersebut dalam arti kinayah yang maksudnya berkah, artinya umurnya akan bertambah berkah karena ketaatan kepada Allah SWT termasuk didalamnya menyambung silaturrahmi. Menyambung silaturrahmi adalah salah satu bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan orang yang menyambung silaturrahmi namanya akan harum dan diingat orang lain meskipun ia telah meniggal dunia. Sama seperti orang yang mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada orang lain, orang yang bersedekah jariyah, dan orang yang memiliki keturunan yang shaleh yang mendoakannya.


· Kedua, mungkin juga maksud dari tambahan dalam hadits diatas adalah dalam arti yang sesungguhnya, artinya rizki dan umurnya bertambah. Tetapi penambahan disini dalam ruang lingkup pengetahuan malaikat. Adapun ayat diatas dalam ruang lingkup pengetahuan Allah. Jadi seakan-akan Allah berkata kepada malaikat:” umur sifulan 100 tahun jika ia menyambung silaturrahmi dan 60 tahun jika tidak menyambung silaturrahmi. Padahal Allah telah mengetahui sebelumnya apakah sifulan nanti menyambung silaturrahmi atau tidak. Jadi penambahan dan pengurangan hanya terjadi dalam ruang lingkup pengetahuan malaikat saja. (Fathu Al Baari juz 11 halaman 473). Pendapat pertama kelihatannya lebih tepat untuk hadits diatas.


Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin ketika menjelaskan hadits diatas dalam salah satu fatwanya ia mengatakan :”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud menganjurkan umat ini untuk melakukan sesuatu yang mengandung kebaikan. Seperti kita mengatakan ; siapa yang ingin memiliki anak, hendaklah ia menikah. Nikah telah ditetapkan, demikian pula anak telah ditetapkan. maka apabila Allah menghendaki anda memiliki anak, berarti Dia menghendaki anda menikah. Demikian pula rizki telah ditetapkan sejak azali dan juga telah ditetapkan bahwa anda akan menyambung tali silaturahim. Akan tetapi anda tidak mengetahui tentang persoalan ini, maka Nabi memotivasi dirimu. Dan Nabi menjelaskan apabila anda menyambung tali silaturahim maka Allah akan melapangkan rizki anda dan memanjangkan umur anda pula”.


Rezki, umur, pekerjaan, kebahagiaan termasuk jodoh memang telah Allah tetapkan dan ketetapan Allah tidak akan pernah berubah. Tetapi siapa yang tahu isi ketetapan tersebut? Oleh karena itulah kita diperintahkan untuk terus berusaha, berdoa dan bertawakkal kepadaNya. Carilah rezki sebanyak-banyaknya, bekerjalah semampumu, cari jodoh yang sebaik-baiknya tapi ingat semua itu harus berada dalam ruang lingkup syari’at islam. Bekerjalah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu hidup selamanya, dan beribadahlah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok pagi. Wallohua’lam.